Latar Belakang Cyber-Law
Seperti diprediksi oleh APJII
(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna internet di
Indonesia pada tahun 2007 ini bisa mencapai 31,5 juta orang. Jumlah target
pasar yang cukup menggiurkan bagi para pebisnis dunia maya ingin mendapatkan
peluang bisnis internet di Indonesia.
Hadirnya internet di Indonesia berarti Indonesia menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia yang merupakan salah satu tonggak penting di milenia ketiga ini. Bagaimana tidak, aktivitas di segala lapisan masyarakat sedikitnya pasti bersinggungan dengan teknologi informasi termasuk internet. Tidak hanya di kota-kota besar, di pedesaan internet pun mulai dikenal. Seperti halnya di sebuah desa Indonesia, ada sebuah kelompok koperasi petani telah memanfaatkan internet untuk menjual hasil buminya, padahal tadinya mereka sama sekali buta teknologi.
Ini bukti internet telah meluas penggunaannya di Indonesia, tidak peduli hanya untuk email ataupun untuk bisnis internet yang canggih (e-commerce). Sayangnya kemajuan itu juga dibarengi dengan kejahatan di dunia maya yang dikenal dengan istilah cyber crime seperti halnya penyerangan terhadap sebuah situs internet (website hacking) atau merubah wajah situs (deface). Menurut pakar telematika Roy Suryo, meningkatnya kejahatan internet ini disebabkan belum adanya undang-undang tentang kejahatan internet di Indonesia, ditambah lagi kemajuan teknologi yang pesat. Repotnya karakteristik kejahatan internet itu tidak mengenal batas-batas negara dan sepenuhnya beroperasi secara virtual (maya). Akibatnya pembuktian kejahatan secara hukum biasanya sulit karena biasanya membutuhkan bukti fisik yang dapat dilihat secara nyata dan dipegang.
Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh pakar IT dari ITB, Budi Rahardjo bahwa Cyber Law adalah dibutuhkan karena di banyak negara ternasuk Indonesia, dasar atau fondasi hukum adalah "ruang" dan "waktu" padahal internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini. Jadinya hukum konvensional yang berlaku sekarang di Indonesia seperti KUHP maupun UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak memadai karena belum mampu menjangkau ruang lingkup cyber crime itu. Sebenarnya pemerintah Indonesia sejak tahun 2002 telah menyusun rancangan undang-undang yang mengatur internet yaitu Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun hingga kini masih terkatung-katung pembahasannya di DPR.
Di sisi lain, dalam masyarakat Indonesia juga terdapat sikap apatis sehingga menghambat kemajuan pembahasan RUU-ITE itu. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, urgensi cyber law di saat pemerintah dan masyarakat dihadapkan kepada krisis yang bersifat multi dimensional dianggap mengada-ada karena masih banyak persoalan yang lebih penting harus diurus seperti bencana yang bertubi-tubi atau pengangguran yang makin meningkat. Tetapi dengan berkembangnya jumlah anggota masyarakat Indonesia sudah melibatkan dalam dunia masyarakat informasi baik lokal maupun internasional seperti merebaknya bisnis online di Indonesia yang mulai menjangkau banyak kota besar dan tidak lama lagi mencapai daerah pedesaan, mau tidak mau regulasi internet itu sangat dibutuhkan. Karena jika tidak Indonesia akan ketinggalan jauh dalam bisnis internet yang menjadi komoditi ekonomi dunia yang luar biasa dan akan terus meningkat di masa depan.
Di sisi lain, para penegak hukum Indonesia sebenarnya tidak buta atas masalah yang timbul dari kejahatan internet. Seperti halnya kepolisian yang telah membuat sebuah lembaga atau unit khusus yang menangani kejahatan internet. Salah satunya adalah Unit Cyber Crime dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri maupun unit-unit cyber crime di Polda-polda Indonesia.
Beberapa kasus yang ditangani mereka telah dilimpahkan ke pengadilan. Nah, dari situlah terjadi masalah cukup serius karena ketiadaan UU internet seperti UU-ITE yang komprehensif dalam mengadili kasus kejahatan internet. Akibatnya jaksa dan hakim harus menggunakan hukum konvensional seperti KUHP dan UU Hak Cipta untuk kasus kejahatan itu, padahal sama sekali tidak memadai. Untuk itu, jaksa dan hakim dituntut bisa berimprovisasi agar bisa memenuhi keadilan hukum.
Dengan banyaknya persoalan yang membelit Indonesia, rasanya pemerintah dan masyarakat Indonesia belum memasukkan RUU-ITE sebagai salah satu prioritas utama dalam waktu dekat ini. Apalagi para wakil rakyat di DPR kini tampaknya lebih sibuk mengurusi hal-hal yang mungkin lebih menguntungkan posisi mereka daripada sekadar mengurus RUU ITE yang barangkali kurang dipahami mereka.
Hadirnya internet di Indonesia berarti Indonesia menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia yang merupakan salah satu tonggak penting di milenia ketiga ini. Bagaimana tidak, aktivitas di segala lapisan masyarakat sedikitnya pasti bersinggungan dengan teknologi informasi termasuk internet. Tidak hanya di kota-kota besar, di pedesaan internet pun mulai dikenal. Seperti halnya di sebuah desa Indonesia, ada sebuah kelompok koperasi petani telah memanfaatkan internet untuk menjual hasil buminya, padahal tadinya mereka sama sekali buta teknologi.
Ini bukti internet telah meluas penggunaannya di Indonesia, tidak peduli hanya untuk email ataupun untuk bisnis internet yang canggih (e-commerce). Sayangnya kemajuan itu juga dibarengi dengan kejahatan di dunia maya yang dikenal dengan istilah cyber crime seperti halnya penyerangan terhadap sebuah situs internet (website hacking) atau merubah wajah situs (deface). Menurut pakar telematika Roy Suryo, meningkatnya kejahatan internet ini disebabkan belum adanya undang-undang tentang kejahatan internet di Indonesia, ditambah lagi kemajuan teknologi yang pesat. Repotnya karakteristik kejahatan internet itu tidak mengenal batas-batas negara dan sepenuhnya beroperasi secara virtual (maya). Akibatnya pembuktian kejahatan secara hukum biasanya sulit karena biasanya membutuhkan bukti fisik yang dapat dilihat secara nyata dan dipegang.
Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh pakar IT dari ITB, Budi Rahardjo bahwa Cyber Law adalah dibutuhkan karena di banyak negara ternasuk Indonesia, dasar atau fondasi hukum adalah "ruang" dan "waktu" padahal internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini. Jadinya hukum konvensional yang berlaku sekarang di Indonesia seperti KUHP maupun UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak memadai karena belum mampu menjangkau ruang lingkup cyber crime itu. Sebenarnya pemerintah Indonesia sejak tahun 2002 telah menyusun rancangan undang-undang yang mengatur internet yaitu Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun hingga kini masih terkatung-katung pembahasannya di DPR.
Di sisi lain, dalam masyarakat Indonesia juga terdapat sikap apatis sehingga menghambat kemajuan pembahasan RUU-ITE itu. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, urgensi cyber law di saat pemerintah dan masyarakat dihadapkan kepada krisis yang bersifat multi dimensional dianggap mengada-ada karena masih banyak persoalan yang lebih penting harus diurus seperti bencana yang bertubi-tubi atau pengangguran yang makin meningkat. Tetapi dengan berkembangnya jumlah anggota masyarakat Indonesia sudah melibatkan dalam dunia masyarakat informasi baik lokal maupun internasional seperti merebaknya bisnis online di Indonesia yang mulai menjangkau banyak kota besar dan tidak lama lagi mencapai daerah pedesaan, mau tidak mau regulasi internet itu sangat dibutuhkan. Karena jika tidak Indonesia akan ketinggalan jauh dalam bisnis internet yang menjadi komoditi ekonomi dunia yang luar biasa dan akan terus meningkat di masa depan.
Di sisi lain, para penegak hukum Indonesia sebenarnya tidak buta atas masalah yang timbul dari kejahatan internet. Seperti halnya kepolisian yang telah membuat sebuah lembaga atau unit khusus yang menangani kejahatan internet. Salah satunya adalah Unit Cyber Crime dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri maupun unit-unit cyber crime di Polda-polda Indonesia.
Beberapa kasus yang ditangani mereka telah dilimpahkan ke pengadilan. Nah, dari situlah terjadi masalah cukup serius karena ketiadaan UU internet seperti UU-ITE yang komprehensif dalam mengadili kasus kejahatan internet. Akibatnya jaksa dan hakim harus menggunakan hukum konvensional seperti KUHP dan UU Hak Cipta untuk kasus kejahatan itu, padahal sama sekali tidak memadai. Untuk itu, jaksa dan hakim dituntut bisa berimprovisasi agar bisa memenuhi keadilan hukum.
Dengan banyaknya persoalan yang membelit Indonesia, rasanya pemerintah dan masyarakat Indonesia belum memasukkan RUU-ITE sebagai salah satu prioritas utama dalam waktu dekat ini. Apalagi para wakil rakyat di DPR kini tampaknya lebih sibuk mengurusi hal-hal yang mungkin lebih menguntungkan posisi mereka daripada sekadar mengurus RUU ITE yang barangkali kurang dipahami mereka.